Sabtu, 30 Januari 2016

pengukuran sikap

PENGUKURAN SIKAP

Dalam mengukur sesuatu, orang dapat mengukur dengan alat ukur yang belum distandardisasi, tetapi juga dapat mengukur dengan alat ukur yang telah distandardisasi. Pengukuran dengan alat ukur yang belum distandardisasi hasilnya akan mengalami variasi, hasil pengukuran seseorang mungkin akan berbeda dengan hasil pengukuran orang lain. Tetapi sebaliknya bila orang menggunakan alat ukur yang distandardisasi, hasil pengukuran yang dicapai akan sama. Karena itu dalam pengukuran sesuatu, agar menunjukkan hasil yang baik, perlu digunakan alat ukur yang telah distandardisasi. Demikian pula dalam hal mengukur sikap, untuk mendapatkan hasil yang baik perlu digunakan alat yang telah dibakukan atau telah distandardisasi.
1.             Variasi Hasil Pengukuran
Variasi hasil pengukuran tidak hanya ditimbulkan karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber pada faktor lain, yaitu a) keadaan objek yang diukur, b) situasi pengukuran, c) alat ukur yang digunakan, d) penyelenggaraan pengukuran, dan e) pembacaan atau penilaian hasil pengukuran.
a.              Keadaan objek yang diukur
Merupakan hal yang ideal bila hasil pengukuran yang diperoleh benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari objek yang diukur. Apakah suatu alat ukur dapat denga tepat mengukur atau mengungkap apa yang ingin diungkap atau ingin diukur, hal ini berkaitan dengan validitas alat ukur.
b.             Situasi pengukuran
Pengukuran sesuatu dalam situasi yang berbeda, juga dapat menimbulkan hasil pengukuran yang berbeda. Mengukur sebatang tembaga dengan temperatur yang berbeda, sekalipun benda dan alat ukurnya sama. Demikian pula mengukur sikap seseorang dalam situasi yang berbeda, dapat menghasilkan hasil pengukuran yang berbeda pula.
c.              Alat ukur yang digunakan
Bila butir-butir dalam alat ukur tersebut kurang atau tidak baik, maka hasil pengukurannya juga kurang baik. Karena itu untuk mendapatkan alat ukur yang baik, maka dalam menyusun butir-butir dalam alat ukur tersebut harus dipilih butir-butir yang baik pula.
d.             Penyelenggaraan pengukuran
Cara menyelenggarakan pengukuran juga dapat menghasilkan hasil pengukuran yang berbeda. Misal administrasi pengukuran yang tidak tetap dapat menyebabkan perbedaan hasil pengukuran. Karena itu, dalam pengukuran administrasi pengukuran juga telah dibakukan. Demikian pula jika seorang pengukur kurang menguasai alat ukur yang digunakan, maka hasil pengukuran akan berbeda.
e.              Pembacaan atau penilaian hasil pengukuran
Bila seorang pengukur tidak dalam kondisi sehat baik secara fisik maupun psikis maka seharusnya tidak disarankan memberikan penilaian atau skoring. Misalnya jika seorang pengukur atau tester sedang lelah atau mengantuk, maka konsentrasinya akan berkurang dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil skoring.
2.             Alat Ukur yang Baik
Alat ukur dapat dinyatakan baik bila alat ukur tersebut valid dan reliabel. Validitas, dalam pengertiannya yang paling umum, adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, sejauh mana alat ukur itu mampu mengukur atribut yang ia rancang untuk mengukurnya. Alat ukur yang hanya mampu mengungkap sebagian dari atribut yang seharusnya atau justru mengukur atribut lain, dikatakan sebagai alat ukur yang tidak valid. Karena validitas sangat erat berkaitan dengan tujuan ukur, maka setiap alat ukur hanya dapat menghasilkan data yang valid untuk satu tujuan ukur pula.
Validitas adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur. Apakah suatu alat ukur berguna atau tidak sangat ditentukan oleh tingkat validitasnya. Oleh karena itu, sejak tahap awal perancangan alat ukur sampai dengan tahap administrasi dan pemberian skornya, usaha-usaha untuk menegakkan validitas harus selalu dilakukan. Dalam rangka itulah perancang perlu mengenali beberapa faktor yang dapat mengancam validitas alat ukur.
Suatu alat yang baik juga harus reliabel atau andal, artinya alat tersebut harus dapat memberikan hasil pengukuran yang tetap atau stabil. Persoalan yang menyangkut reliabilitas alat ukur adalah menyangkut persoalan kestabilan hasil pengukuran.
3.             Cara Pengukuran Sikap
Dalam pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung yaitu subjek secara langsung dimintai  pendapat bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini da[at dibedakan langsung berstruktur dan langsung tidak berstruktur. Secara langsung yang tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan langsung atau dengan survey (misal public opinion survey). Sedangkan secara langsung berstruktur, yaitu dengan pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan kepada subjek yang diteliti. Misal pengukuran sikap dengan skala Bogardus, Thurstone, dan Likert.
Pengukuran sikap dengan tidak langsung ialah pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Dalam hal ini dapat dibedakan tes proyektif dan non proyektif. Tes proyektif adalah tes dimana kepada subjek disajikan rangsangan yang relatif ambigius (tidak jelas), dari cara subjek menanggapi rangsangan tersebut, tester dapat menduga dan menyimpulkan motif dan emosi yang melandasi persepsinya. Misal : Tes Rho, TAT, CAT, Grafis. Sedangkan tes non proyektif adalah tes dimana disajikan stimulus yang cukup jelas. Tes non proyektif berbentuk skala/inventari misalnya : EPPS, 16 PF.

4.             Pengukuran Sikap Secara Langsung tak Berstruktur
Pengukuran sikap langsung tak berstruktur ini merupakan cara pengukuran sikap yang cukup sederhana, dalam arti tidak diperlukan persiapan yang cukup mendalam guna mengadakan pengukuran sikap tersebut bila dibandingkan dengan cara-cara yang lain. Misal untuk mengetahui sikap sementara penduduk terhadap masalah kesehatan dengan cara mengadakan observasi di lapangan, ataupun dengan wawancara. Berdasarkan hasil observasi ataupun wawancara tersebut kemudian ditarik kesimpulan tentang bagaimana sikap penduduk terhadap kesehatan.
5.             Pengukuran Sikap Secara Langsung yang Berstruktur
a.              Pengukuran sikap model Bogardus
Disebut juga Bogardus Social Distance, dicetuskan oleh E.S Bogardus (1925). Model skala ini mengukur keinginan individu dalam melakukan kontak sosial pada berbagai kedekatan dengan individu lainnya. Skala ini berupaya untuk mengukur jarak socialantar individu (kelompok) atau sikap penerimaan terhadap individu (kelompok) lain. Jawaban positif terhadap suatu item dengan nilai skala yang lebih tinggi mengimplikasikan jawaban yang positif pula terhadap item-item dengan nilai skala yang lebih rendah. Bersifat kumulatifyaitu individu yang menunjukkan sikap positif terhadap item yang menunjukkan jarak sosial yang sempit dengan sendirinya juga akan memberi respon positif terhadap hubungan yang menunjukkan jarak sosial yang lebih lebar. Disusun dengan menggunakan 7 kategori, yang bergerak mulai dari yang ekstrim menerima sampai dengan yang ekstrim menolak.Skor 1-7, dimana skor 1 menunjukkan tidak ada jarak sosial, tidak prejudice
Contoh : Sikap terhadap individu bangsa lain :
1)             Keluarga dekat melalui pernikahan (1.00)
2)             Sebagai teman dekat (2.00)
3)             Sebagai tetangga (3.00)
4)             Sebagai mitra kerja (4.00)
5)             Sebagai Warga Negara Indonesia (5.00)
6)             Sebagai pengunjung di Indonesia (6.00)
7)             Ditolak masuk Indonesia (7.00)
b.             Pengukuran sikap model Thurstone
Apabila kita menghendaki jenis data satu tingkat lebih tinggi atau data interval maka kita dapat menggunakan skala Thurstone atau sering juga disebut metode equal appearing interval. Ada beberapa langkah awal yang harus dilakukan, seperti: 1) penetapan tujuan atau kawasan ukur, 2) melakukan pendefinisian secara konseptual, 3) menyusun definisi operasional, 4) mengidentifikasi indikator perilaku, 5) membuat blue print alat ukur, dan 6) penyusunan item-item per indikator yang juga disusun dengan item favorable dan unfavorable sebanyak mungkin.
Yang menjadi pembeda dalam penyusunan skala antara Likert dan Thurstone terletak pada perlakuan setelah item jadi. Setelah item tersusun langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat format untuk proses penilaian oleh Judges. Setiap item diberikan alternatif respon dengan rentang skala 11, ke sebelas rentang skala tersebut diberikan keterangan dengan huruf A sampai K seperti contoh di bawah ini.
Langkah selanjutnya adalah mencari penilai atau Judges minimal 30 orang untuk memberikan penilaian item. Instruksi yang diberikan ke penilaian sebelum melakukan penilaian adalah penilai atau Judges diminta meletakkan item pada rentang huruf tersebut, semakin ke arah huruf A maka item tersebut menyatakan item yang Unfavorable demikian pula sebaliknya apabila item tersebut diletakkan semakin mendekati huruf K maka item tersebut menyatakan item yang Favorable. Proses penilaian ini dilakukan pada semua item yang telah disusun satu per satu.
Apabila seluruh item sudah dilakukan penilaian oleh seluruh penilaian atau Judges, maka langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi data seperti menghitung frekuensi, menghitung persentase, menghitung persentase kumulatif. Selanjutnya melakukan penghitungan nilai S (median) dan nilai Q dari penghitungan nilai percentile 25 dan percentile 75.Untuk keperluan interpretasi, dihitung total nilai kemudian hitung mean (rata-rata) dari nilai S yang dijawab “Ya”, selanjutnya nilai mean (rata-rata) tersebut letakkan pada rentang skala 1 s/d 11. Maka di situlah posisi subyek untuk variabel yang anda ukur.



c.              Pengukuran sikap model Likert
Model skala Likert paling banyak digunakan untuk pengukuran perilaku. Skala yang terdiri dari pernyataan dan disertai jawaban setuju-tidak setuju, sering-tidak pernah, cepat-lambat, baik-buruk dan sebagainya. (tergantung dari tujuan pengukuran).C. Bird menyebutnya sebagai Method of Sumated Ratings.
Skala ini biasanya digunakan untuk beberapa alasan, yaitu: 1) menggambarkan secara kasar posisi individu dalam kelompoknya (posisi relatif), 2) ingin membandingkan skor subyek dengan kelompok normatifnya, dan 3) Ingin menyusun skala pengukuran yang sederhana dan mudah dibuat.
Adapun langkah–langkah penyusunan skala, yaitu: 1) menentukan dan memahami dengan baik apa yang akan diukur, 2) menyusun Blue Printuntuk memandu penyusunan alat ukur, 3) indikator yang secara teoritis-logis memberi kontribusi yang lebih besar harus diberikan pernyataan yang lebih banyak, 4) pernyataan dibuat Favorable dan Unfavorable, 5) membuat Item sesuai dengan kaidah, 6) uji coba item, 7) memilih item yang baik, 8) menyusun item terpilih menjadi satu set alat ukur, 9) menginterpretasikan hasil pengukuran.
Penyusunan item terpilih dalam satu set skala harus acak berdasarkan indikator maupun item Favorable dan Unfavorable. Interpretasi skor skala Likerttidak dapat dilakukan secara langsungdanharus dibandingkan dengan skor kelompok normatifnya.


Sedangkan penskalaan responmerupakan prosedur penempatan sejumlah alternatif respon tiap item pada suatu kontinum kuantitatif sehingga didapatkan angka sebagai skor masing-masing alternatif respon, data yang digunakan untuk penskalaan merupakan data yang diperoleh dari kelompok subyek atau responden yang menjawab item. Adapun tahapan menentukan skor respon dengan cara: 1) menghitung frekwensi (f) jawaban subyek untuk masing-masing kategori respon, 2) menghitung proporsi (p) masing-masing respon dengan cara membagi frekwensi di tiap respon dengan jumlah responden keseluruhan, 3) menghitung proporsi kumulatif (pk), 4) menghitung titik tengah proporsi kumulatif (pk-t). Tahapan yang dilakukan untuk menentukan skor respon adalah: 1) mencari nilai z dari tabel deviasi normal, 2) menentukan titik nol pada respon paling kiri/paling rendah dan, 3) prosedur ini diulang untuk setiap item. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar