PENGUKURAN SIKAP
Dalam
mengukur sesuatu, orang dapat mengukur dengan alat ukur yang belum
distandardisasi, tetapi juga dapat mengukur dengan alat ukur yang telah
distandardisasi. Pengukuran dengan alat ukur yang belum distandardisasi
hasilnya akan mengalami variasi, hasil pengukuran seseorang mungkin akan
berbeda dengan hasil pengukuran orang lain. Tetapi sebaliknya bila orang
menggunakan alat ukur yang distandardisasi, hasil pengukuran yang dicapai akan
sama. Karena itu dalam pengukuran sesuatu, agar menunjukkan hasil yang baik,
perlu digunakan alat ukur yang telah distandardisasi. Demikian pula dalam hal
mengukur sikap, untuk mendapatkan hasil yang baik perlu digunakan alat yang
telah dibakukan atau telah distandardisasi.
1.
Variasi Hasil
Pengukuran
Variasi hasil pengukuran tidak hanya
ditimbulkan karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber pada
faktor lain, yaitu a) keadaan objek yang diukur, b) situasi pengukuran, c) alat
ukur yang digunakan, d) penyelenggaraan pengukuran, dan e) pembacaan atau
penilaian hasil pengukuran.
a.
Keadaan objek
yang diukur
Merupakan
hal yang ideal bila hasil pengukuran yang diperoleh benar-benar mencerminkan
keadaan yang sesungguhnya dari objek yang diukur. Apakah suatu alat ukur dapat
denga tepat mengukur atau mengungkap apa yang ingin diungkap atau ingin diukur,
hal ini berkaitan dengan validitas alat ukur.
b.
Situasi
pengukuran
Pengukuran
sesuatu dalam situasi yang berbeda, juga dapat menimbulkan hasil pengukuran yang
berbeda. Mengukur sebatang tembaga dengan temperatur yang berbeda, sekalipun
benda dan alat ukurnya sama. Demikian pula mengukur sikap seseorang dalam
situasi yang berbeda, dapat menghasilkan hasil pengukuran yang berbeda pula.
c.
Alat ukur yang
digunakan
Bila
butir-butir dalam alat ukur tersebut kurang atau tidak baik, maka hasil
pengukurannya juga kurang baik. Karena itu untuk mendapatkan alat ukur yang
baik, maka dalam menyusun butir-butir dalam alat ukur tersebut harus dipilih
butir-butir yang baik pula.
d.
Penyelenggaraan
pengukuran
Cara
menyelenggarakan pengukuran juga dapat menghasilkan hasil pengukuran yang
berbeda. Misal administrasi pengukuran yang tidak tetap dapat menyebabkan
perbedaan hasil pengukuran. Karena itu, dalam pengukuran administrasi
pengukuran juga telah dibakukan. Demikian pula jika seorang pengukur kurang
menguasai alat ukur yang digunakan, maka hasil pengukuran akan berbeda.
e.
Pembacaan atau
penilaian hasil pengukuran
Bila
seorang pengukur tidak dalam kondisi sehat baik secara fisik maupun psikis maka
seharusnya tidak disarankan memberikan penilaian atau skoring. Misalnya jika
seorang pengukur atau tester sedang lelah atau mengantuk, maka konsentrasinya
akan berkurang dan hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil skoring.
2.
Alat Ukur yang
Baik
Alat ukur dapat dinyatakan baik bila
alat ukur tersebut valid dan reliabel. Validitas, dalam pengertiannya yang
paling umum, adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi
ukurnya. Artinya, sejauh mana alat ukur itu mampu mengukur atribut yang ia
rancang untuk mengukurnya. Alat ukur yang hanya mampu mengungkap sebagian dari
atribut yang seharusnya atau justru mengukur atribut lain, dikatakan sebagai
alat ukur yang tidak valid. Karena validitas sangat erat berkaitan dengan
tujuan ukur, maka setiap alat ukur hanya dapat menghasilkan data yang valid
untuk satu tujuan ukur pula.
Validitas adalah karakteristik utama
yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur. Apakah suatu alat ukur berguna atau
tidak sangat ditentukan oleh tingkat validitasnya. Oleh karena itu, sejak tahap
awal perancangan alat ukur sampai dengan tahap administrasi dan pemberian
skornya, usaha-usaha untuk menegakkan validitas harus selalu dilakukan. Dalam
rangka itulah perancang perlu mengenali beberapa faktor yang dapat mengancam
validitas alat ukur.
Suatu alat yang baik juga harus reliabel
atau andal, artinya alat tersebut harus dapat memberikan hasil pengukuran yang
tetap atau stabil. Persoalan yang menyangkut reliabilitas alat ukur adalah
menyangkut persoalan kestabilan hasil pengukuran.
3.
Cara Pengukuran
Sikap
Dalam pengukuran sikap ada beberapa
macam cara, yang pada garis besarnya dibedakan secara langsung dan secara tidak
langsung. Secara langsung yaitu subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap suatu
masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini da[at dibedakan
langsung berstruktur dan langsung tidak berstruktur. Secara langsung yang tidak
berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan
langsung atau dengan survey (misal public
opinion survey). Sedangkan secara langsung berstruktur, yaitu dengan
pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun
sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan
kepada subjek yang diteliti. Misal pengukuran sikap dengan skala Bogardus,
Thurstone, dan Likert.
Pengukuran sikap dengan tidak langsung
ialah pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Dalam hal ini
dapat dibedakan tes proyektif dan non proyektif. Tes proyektif adalah tes
dimana kepada subjek disajikan rangsangan yang relatif ambigius (tidak jelas),
dari cara subjek menanggapi rangsangan tersebut, tester dapat menduga dan
menyimpulkan motif dan emosi yang melandasi persepsinya. Misal : Tes Rho, TAT,
CAT, Grafis. Sedangkan tes non proyektif adalah tes dimana disajikan stimulus
yang cukup jelas. Tes non proyektif berbentuk skala/inventari misalnya : EPPS,
16 PF.
4.
Pengukuran Sikap
Secara Langsung tak Berstruktur
Pengukuran sikap langsung tak berstruktur
ini merupakan cara pengukuran sikap yang cukup sederhana, dalam arti tidak
diperlukan persiapan yang cukup mendalam guna mengadakan pengukuran sikap
tersebut bila dibandingkan dengan cara-cara yang lain. Misal untuk mengetahui
sikap sementara penduduk terhadap masalah kesehatan dengan cara mengadakan
observasi di lapangan, ataupun dengan wawancara. Berdasarkan hasil observasi
ataupun wawancara tersebut kemudian ditarik kesimpulan tentang bagaimana sikap
penduduk terhadap kesehatan.
5.
Pengukuran Sikap
Secara Langsung yang Berstruktur
a.
Pengukuran sikap
model Bogardus
Disebut
juga Bogardus Social Distance,
dicetuskan oleh E.S Bogardus (1925).
Model skala ini mengukur keinginan individu dalam melakukan kontak sosial pada berbagai
kedekatan dengan individu
lainnya. Skala ini
berupaya untuk mengukur jarak socialantar individu (kelompok) atau sikap
penerimaan terhadap individu (kelompok) lain.
Jawaban
positif terhadap suatu item dengan nilai skala yang lebih tinggi
mengimplikasikan jawaban yang positif pula terhadap item-item dengan nilai
skala yang lebih rendah. Bersifat
kumulatifyaitu individu yang menunjukkan sikap positif terhadap item yang
menunjukkan jarak sosial yang sempit dengan sendirinya juga akan memberi respon
positif terhadap hubungan yang menunjukkan jarak sosial yang lebih lebar. Disusun dengan menggunakan 7 kategori, yang bergerak
mulai dari yang ekstrim menerima sampai dengan yang ekstrim menolak.Skor 1-7, dimana skor 1 menunjukkan tidak ada jarak
sosial, tidak prejudice
Contoh : Sikap terhadap individu bangsa lain :
1)
Keluarga dekat melalui pernikahan (1.00)
2)
Sebagai teman dekat (2.00)
3)
Sebagai tetangga (3.00)
4)
Sebagai mitra kerja (4.00)
5)
Sebagai Warga Negara Indonesia (5.00)
6)
Sebagai pengunjung di Indonesia (6.00)
7)
Ditolak masuk Indonesia (7.00)
b.
Pengukuran sikap
model Thurstone
Apabila kita menghendaki jenis data satu tingkat lebih tinggi atau
data interval maka kita dapat menggunakan skala Thurstone atau sering juga
disebut metode equal appearing interval. Ada beberapa langkah awal yang
harus dilakukan, seperti: 1) penetapan tujuan atau kawasan ukur, 2) melakukan
pendefinisian secara konseptual, 3) menyusun definisi operasional, 4) mengidentifikasi
indikator perilaku, 5) membuat blue print alat ukur, dan 6) penyusunan
item-item per indikator yang juga disusun dengan item favorable dan unfavorable
sebanyak mungkin.
Yang menjadi pembeda dalam penyusunan skala antara Likert dan
Thurstone terletak pada perlakuan setelah item jadi. Setelah item tersusun
langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat format untuk proses
penilaian oleh Judges. Setiap item diberikan alternatif respon dengan
rentang skala 11, ke sebelas rentang skala tersebut diberikan keterangan dengan
huruf A sampai K seperti contoh di bawah ini.
Langkah selanjutnya adalah mencari penilai atau Judges minimal
30 orang untuk memberikan penilaian item. Instruksi yang diberikan ke penilaian
sebelum melakukan penilaian adalah penilai atau Judges diminta
meletakkan item pada rentang huruf tersebut, semakin ke arah huruf A maka item
tersebut menyatakan item yang Unfavorable demikian pula sebaliknya
apabila item tersebut diletakkan semakin mendekati huruf K maka item tersebut
menyatakan item yang Favorable. Proses penilaian ini dilakukan pada semua
item yang telah disusun satu per satu.
Apabila
seluruh item sudah dilakukan penilaian oleh seluruh penilaian atau Judges, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi data seperti menghitung
frekuensi, menghitung persentase, menghitung persentase kumulatif. Selanjutnya
melakukan penghitungan nilai S (median) dan nilai Q dari penghitungan nilai
percentile 25 dan percentile 75.Untuk keperluan interpretasi, dihitung total
nilai kemudian hitung mean (rata-rata) dari nilai S yang dijawab “Ya”,
selanjutnya nilai mean (rata-rata) tersebut letakkan pada rentang skala 1 s/d
11. Maka di situlah posisi subyek untuk variabel yang anda ukur.
c.
Pengukuran sikap
model Likert
Model
skala Likert paling banyak digunakan untuk pengukuran perilaku. Skala yang
terdiri dari pernyataan dan disertai jawaban setuju-tidak setuju, sering-tidak
pernah, cepat-lambat, baik-buruk dan sebagainya. (tergantung dari tujuan
pengukuran).C. Bird menyebutnya sebagai Method of Sumated Ratings.
Skala
ini biasanya digunakan untuk beberapa alasan, yaitu: 1) menggambarkan secara
kasar posisi individu dalam kelompoknya (posisi relatif), 2) ingin membandingkan
skor subyek dengan kelompok normatifnya, dan 3) Ingin menyusun skala pengukuran
yang sederhana dan mudah dibuat.
Adapun
langkah–langkah penyusunan skala, yaitu: 1) menentukan dan memahami dengan baik
apa yang akan diukur, 2) menyusun Blue Printuntuk memandu penyusunan
alat ukur, 3) indikator yang secara teoritis-logis memberi kontribusi yang lebih
besar harus diberikan pernyataan yang lebih banyak, 4) pernyataan dibuat Favorable
dan Unfavorable, 5) membuat Item sesuai dengan kaidah, 6) uji coba
item, 7) memilih item yang baik, 8) menyusun item terpilih menjadi satu set
alat ukur, 9) menginterpretasikan hasil pengukuran.
Penyusunan
item terpilih dalam satu set skala harus acak berdasarkan indikator maupun item
Favorable dan Unfavorable. Interpretasi skor skala Likerttidak
dapat dilakukan secara langsungdanharus
dibandingkan dengan skor kelompok normatifnya.
Sedangkan
penskalaan responmerupakan prosedur penempatan sejumlah alternatif respon tiap
item pada suatu kontinum kuantitatif sehingga didapatkan angka sebagai skor
masing-masing alternatif respon, data yang digunakan untuk penskalaan merupakan
data yang diperoleh dari kelompok subyek atau responden yang menjawab item.
Adapun tahapan menentukan skor respon dengan cara: 1) menghitung frekwensi (f)
jawaban subyek untuk masing-masing kategori respon, 2) menghitung proporsi (p)
masing-masing respon dengan cara membagi frekwensi di tiap respon dengan jumlah
responden keseluruhan, 3) menghitung proporsi kumulatif (pk), 4) menghitung
titik tengah proporsi kumulatif (pk-t). Tahapan yang dilakukan untuk menentukan
skor respon adalah: 1) mencari nilai z dari tabel deviasi normal, 2) menentukan
titik nol pada respon paling kiri/paling rendah dan, 3) prosedur ini diulang untuk
setiap item.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar